Point
utama yang akan saya paparkan di sini adalah kata “guru”. Suatu kata yang mudah
untuk disebut dan dilafalkan tapi terkandung banyak makna dan juga tidak
sedikit beban yang harus diemban. Guru dalam bahasa Sanskerta secara harfiah
artinya “berat”. Yakni seorang pengajar ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru
umumnya merujuk pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan dan melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Berdasarkan
penjelasan diatas, banyak dikhalayak masyarakat kita hanya memaknai bahwa
seorang guru itu adalah orang yang mengajar di sekolah sekolah formal. Mereka
hanya berpatokan guru-sekolah, sekolah –guru. Tapi itu semua kurang tepat.
Karena mengapa? Mari kia buka minda, kita ubah persepsi kita, bahwa setiap orang
yang mentransfer ilmu kepada kita, baik itu pengetahuan umum, agama, adab sopan
santun, memberikan ilmu baru dan sebagainya maka itulah guru kita. Tak
jauh-jauh lagi, orang tua juga mengandung arti lebih disini, yakni mendapat
gelaran guru pertama di hati anak-anak. Guru juga tidak mengenal usia. Tugas
guru mendidik. Tugas anak mematuhi dan mengikuti serta wajib menghormati guru.
Ada
sekolah, ada guru dan ada siswa. Tiga
elemen ini merupakan suatu ikatan yang tidak bisa dipisahkan dan saling ketergantungan.
Dan itu merupakan suatu hal yang fundamental. Kita sebagai guru juga harus
banyak belajar, bukan hanya belajar kepada suatu pelajaran yang kita emban, tapi
ada tambahannya yakni belajar sabar, mengalah bukan berarti kalah, belajar untuk menahan diri dari amarah serta bisa mengendalikan
emosi ketika kita dihadang oleh tindak tanduk siswa yang beraneka ragam. Guru,
tantangannya bukan hanya untuk mentransfer ilmu, tapi kita harus menjadi tauladan
bagi peserta didik.
Ditambah
lagi sekarang, sekolah semakin banyak. Ada sekolah formal, agama/pesantren dan
ada juga sekolah yang berbasis pesantren. Di sini sedikit saya akan menyinggung tentang
sekolah pesantren / sekolah berasrama. Kadang banyak orang tua siswa menganggap
bahwa pesantren itu adalah bengkel, mereka beranggapan bahwa setelah anaknya
pulang dari pesantren anak nya harus baik, pintar, hafal quran dan lain
sebagainya. Bahkan ada sebagian orang tua menyatakan bahwa mereka mengantarkan
anaknya karena mereka selalu liar dirumah dan orang tua merasa aman. Yach...
saya menilai bahwa orang tua yang seperti itu adalah orang tua yang belum
memiliki niat yang ikhlas untuk menyekolahkan anaknya. Dan sebagian anak
menjadikan pesantren sebagai pelarian dan sebagainya. Jadi mulai dari sekorang
diharapkan kepada orang tua dan masyarakat, tolong perbarui niatnya. Niatkan menyekolahkan anak nya niat yang ikhlas semata-mata karena Allah
swt. Dan sebagai guru kita juga harus
memperbarui niat, Insyaallah syurga menanti kehadiran kita, karena Allah tidak akan pandang sebelah
mata terhadap hambbanya yang ikhlas dan sabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar